Posts

Ketika Puisi Kuno Menjadi Peringatan untuk Manusia Modern

Image
Sekitar 4.200 tahun yang lalu, di tanah Mesopotamia yang subur, seorang penyair bernama Atrahasis menulis sebuah puisi yang ternyata lebih relevan dari apa pun yang ditulis manusia modern. Dalam puisinya, ia menggambarkan bagaimana para dewa marah karena manusia terlalu banyak, terlalu berisik, dan terlalu rakus. Maka, datanglah keputusan: bumi perlu “dibersihkan.” Cerita ini mungkin terdengar mitologis, tapi pola pikir di baliknya terasa begitu nyata. Atrahasis bukan sekadar bercerita tentang banjir besar, tetapi tentang kejemuan terhadap keramaian dan ketidakseimbangan populasi. Overpopulasi di Zaman Batu: Masalah Lama dengan Wajah Baru Lucunya, pada masa Atrahasis, jumlah manusia di bumi diperkirakan baru sekitar 25–50 juta jiwa. Tapi di matanya, itu sudah terlalu ramai. Ia melihat Babilonia kuno yang menampung sekitar 100 ribu orang sebagai kota yang sesak, penuh kegaduhan, dan penuh keluhan. Mungkin dari situ lahir ide “penghapusan populasi” lewat banjir besar — sebuah simbol dari...

Cerita Soeharto dan CIA dengan Kudeta Soekarno

Image
Kadang sejarah tidak ditulis dengan tinta, tapi dengan kepentingan. Tahun 1964 sampai 1968, ternyata ada lebih dari 30.000 halaman dokumen rahasia Amerika Serikat yang baru dibuka pada 2017. Dalam arsip itu, nama Soeharto muncul hampir 40 kali—semuanya berkaitan dengan peristiwa penggulingan Bung Karno dan penghapusan PKI. Dari sanalah muncul narasi bahwa kudeta yang mengubah arah Indonesia itu bukan sekadar konflik internal, tapi juga hasil kolaborasi dua kepentingan besar: Soeharto yang ingin berkuasa, dan Amerika yang ingin menumpas komunisme. Poros Jakarta–Beijing–Pyongyang: Akar Ketegangan dengan Amerika Serikat Sebelum badai politik 1965, Bung Karno memang sudah lama membuat Amerika tidak nyaman. Ia menggagas poros Jakarta–Pyongyang–Beijing, menolak dominasi Barat, bahkan mendirikan GANEFO dan CONEFO sebagai tandingan Olimpiade dan PBB. Di mata Washington, itu sudah cukup untuk menandai Indonesia sebagai calon “Vietnam kedua”. Apalagi Bung Karno mengusung ideologi NASAKOM (Nasion...

Tantangan Demokrasi: Ketika Mantan Koruptor Masih Bisa Mencalonkan Diri

Image
  Dalam sistem politik Indonesia, isu mengenai mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai pejabat publik masih menjadi perdebatan hangat. Pakar hukum Feri menjelaskan bahwa di beberapa negara maju memang tidak ada larangan eksplisit bagi mantan terpidana korupsi untuk ikut pemilu. Bedanya, masyarakat di negara tersebut sudah memiliki kesadaran politik yang tinggi sehingga secara otomatis menolak figur bermasalah.   Namun, permasalahan di Indonesia muncul karena politik uang dan rekayasa suara masih kerap terjadi, membuat peluang mantan terpidana untuk menang tetap terbuka. Menurut Feri, sistem hukum seharusnya sudah mengantisipasi fenomena ini dengan memberikan batasan yang jelas agar keadilan tidak hanya menjadi jargon. Pelajaran dari Putusan Mahkamah Konstitusi dan KPU Feri menyinggung perbedaan cara interpretasi lembaga negara dalam menetapkan batas waktu bagi mantan koruptor untuk maju di pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan pembatasan lima tah...

Ketika Kereta Cepat Jadi Lambat Untung

Image
Bayangkan sebuah proyek yang butuh tiga abad lebih untuk balik modal. Itulah potret nyata KCIC—kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini jadi bahan obrolan panas antara Guru Gembul dan Benix, sang investor kawakan. Dalam hitungan bisnis, angka itu bukan lagi investasi, tapi nyaris jadi legenda ekonomi. Pendapatan per tahun hanya sekitar 300 miliar, sementara modalnya menembus 110 triliun rupiah. Bahkan jika tiketnya selalu laku, hitungan sederhana menunjukkan mustahil menutup biaya dalam waktu wajar. Belum lagi sebagian besar gerbong kerap kosong di jam-jam tertentu, hanya penuh saat magrib dan pagi hari. Pemerintah, Investor Paling Buruk di Dunia? Menyinggung teori klasik dari Charlie Munger, partner legendaris Warren Buffet: “Pemerintah adalah investor paling buruk.” Sebab, banyak kebijakan infrastruktur dilakukan dengan logika politik, bukan logika untung rugi. Alih-alih memperhitungkan efisiensi, proyek-proyek raksasa seperti KCIC justru terjebak dalam ambisi meninggalkan “legacy” pem...

Fenomena Turunnya Jumlah Santri di Indonesia

Image
Bayangkan, dalam kurun waktu hanya lima tahun, jumlah santri di Indonesia anjlok dari 5 juta menjadi 1,37 juta orang. Angka ini bukan gosip warung kopi, tapi data resmi dari Kementerian Agama. Penurunan sebesar 76% ini bukan sekadar statistik — ini alarm keras yang menandakan ada yang salah dalam sistem pendidikan pesantren kita. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam dua dekade ke depan, pesantren akan tinggal nama tanpa santri. Fanatisme Buta dan Resistensi terhadap Kritik Alih-alih memperbaiki diri, sebagian pesantren justru menolak kritik dan menganggapnya sebagai serangan pribadi. Ketika seseorang mencoba memberi masukan, responnya sering kali bukan diskusi, melainkan “Kamu siapa? Sudah punya sanad belum?” Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya budaya otoritas guru sebagai pusat kebenaran, di mana benar atau salah tidak ditentukan oleh isi argumen, tapi oleh siapa yang mengatakannya. Akibatnya, ruang untuk introspeksi tertutup rapat. Ketika Pendidikan Berhent...

Renungan Filosofis tentang Batas Pengetahuan dan Nalar Manusia

Image
  Apakah agama sebenarnya menghambat kemajuan manusia? Pertanyaan ini tentu mengusik keyakinan banyak orang, tetapi juga membuka ruang refleksi yang dalam. Dalam pandangan sebagian ilmuwan dan filsuf, agama bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan juga mekanisme sosial yang “meredam” ambisi manusia agar tidak melampaui batas alam. Bayangkan, jika manusia tidak pernah berhenti menciptakan teknologi, menantang hukum alam, bahkan bereksperimen dengan genetik tanpa batas, apa yang tersisa dari keseimbangan bumi? Maka, bisa jadi agama memang diciptakan sebagai penyeimbang — sebuah rem peradaban agar manusia tidak menjadi “Tuhan kecil” di bumi. Dari Yunani Hingga Persia yang Tumbang Karena Dogma Sejarah mencatat peradaban Yunani kuno pernah berdiri megah dengan filsafat rasionalnya. Di masa Socrates dan Aristoteles, manusia diajak berpikir, mempertanyakan, dan menguji segala sesuatu lewat logika. Tapi ketika kepercayaan religius mulai menguasai, peradaban itu justru mengalami kemunduran...

Skandal Dana Haji dan Ulama Gadungan

Image
Bayangkan ibadah yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual, justru berubah menjadi arena transaksi. Orang kaya bisa langsung ke Tanah Suci tanpa antre, sementara rakyat biasa harus menunggu 15 tahun. Fenomena jual beli kuota haji dan dugaan korupsi dana haji di Kementerian Agama bukan sekadar kisah ironis — ini tragedi moral dalam wajah religiusitas bangsa. Yang lebih getir, praktik ini dijalankan oleh mereka yang mengaku “ulama”, “kiai”, dan “penjaga moral umat.” Mereka berbicara tentang surga dan dosa, tapi tangan mereka mencelup ke dalam uang umat yang suci. Moralitas Minus, Tapi Gelar Ustaz Melekat Kuat Entah sejak kapan kealiman diukur dari panjangnya sorban atau viralnya ceramah. Di banyak tempat, kelompok yang paling keras bicara soal dosa justru paling aktif menciptakannya. Mereka mengatasnamakan agama untuk melabeli orang lain sesat, sementara diri sendiri tenggelam dalam kemewahan hasil korupsi dan suap. Lebih parahnya lagi, mereka berlindung di balik nama lembaga keagamaa...